Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan untuk mengukur
kekuatan dan arah hubungan linier dari dua veriabel. Dua variabel dikatakan
berkorelasi apabila perubahan salah satu variabel disertai dengan perubahan
variabel lainnya, baik dalam arah yang sama ataupun arah yang sebaliknya. Harus
diingat bahwa nilai koefisien korelasi
yang kecil (tidak signifikan) bukan berarti kedua variabel tersebut tidak
saling berhubungan. Mungkin saja dua variabel mempunyai keeratan hubungan
yang kuat namun nilai koefisien korelasinya mendekati nol, misalnya pada kasus hubungan non linier.
Dengan
demikian, koefisien korelasi hanya
mengukur kekuatan hubungan linier dan tidak pada hubungan non linier. Harus diingat pula bahwa adanya hubungan
linier yang kuat di antara variabel tidak selalu berarti ada hubungan
kausalitas, sebab-akibat.
Pendahuluan
Seringkali peneliti mengamati beberapa parameter dari sampling atau satuan pengamatan yang sama. Sebagai contoh, pada penelitian pengujian suatu jenis pupuk tertentu, selain mencatat hasil padi, mungkin juga Peneliti ingin mencatat beberapa respons lainnya, seperti jumlah bulir, berat 100 biji, jumlah anakan, serapan Nitrogen, serapan kalium dsb. Apabila hanya terdapat dua variabel yang dicatat, dikatakan bivariate, sedangkan apabila lebih, dikatakan multivariate. Variabel yang di catat tersebut nilainya bersifat acak, sehingga dikatakan sebagai variabel acak. Berbeda dengan dosis pupuk yang sudah ditentukan sebelumnya, variabel pupuk tersebut bersifat tetap, sehingga dikatakan variabel tetap. Mungkin saja, selain peneliti ingin melihat hubungan antara dosis pupuk (faktor) dengan hasil padi (respons) , dia juga ingin melihat hubungan di antara pasangan variabel-variabel respons yang dia amati. Apakah peningkatan serapan nitrogen seiring dengan peningkatan hasil atau justru sebaliknya dan bagaimanakah pula kekuatan hubungannya? Kekuatan dan arah hubungan linier di antara kedua variabel tersebut bisa dijelaskan dengan ukuran statistik yang dinamakan dengan "koefisien korelasi".
Eksplorasi
data
Sebelum melakukan analisis korelasi antar variabel, sebaiknya kita
mengeksplorasi data tersebut terlebih dahulu secara grafis. Seringkali kita
melihat pola hubungan di antara variabel dengan cara memplotkan pasangan sampel
data tersebut pada diagram kartesian yang disebut dengan scatterplot
atau diagram pencar. Setiap pasangan data (x, y) diplotkan sebagai titik
tunggal.
Contoh diagram pencar dapat dilihat pada gambar berikut.
Secara sepintas kita bisa melihat pola hubungan dari grafik-grafik tersebut.
Pada Grafik
a, b, c terlihat bahwa peningkatan nilai y sejalan dengan
peningkatan nilai x. Apabila nilai x meningkat, maka nilai y pun meningkat, dan
sebaliknya. Dari Grafik a sampai c, sebaran titik-titik pasangan data
semakin mendekati bentuk garis lurus yang menunjukkan bahwa keeratan hubungan
antara variabel x dan y semakin kuat (sinergis).
Hal yang sebaliknya terjadi pada Grafik d, e, dan f.
Peningkatan nilai y tidak sejalan dengan peningkatan nilai x (antagonis).
Peningkatan salah satu nilai menyebabkan penurunan nilai pasangannya. Sekali
lagi tampak bahwa kekuatan hubungan antara kedua variabel dari d menuju f
semakin kuat.
Berbeda dengan grafik sebelumnya, pada Grafik g tidak menunjukkan
adanya pola hubungan linier antara kedua variabel. Hal ini menandakan bahwa
tidak ada korelasi di antara kedua variabel tersebut. Terkahir, pada Grafik h
kita bisa melihat adanya pola hubungan di antara kedua variabel tersebut, hanya
saja polanya bukan dalam bentuk hubungan linier, melainkan dalam bentuk
kuadratik.
Kovarian dan Korelasi
Untuk memahami korelasi linier antara dua variabel, terdapat dua elemen yang
harus kita tinjau, mengukur hubungan diantara dua variabel (kovarian) dan
proses standarisasi.
Kovarian
Salah satu ukuran kekuatan hubungan linear antara dua variabel acak kontinu
adalah dengan menentukan seberapa banyak kedua variabel tersebut co-vary, yaitu
bervariasi bersama-sama. Jika salah satu variabel meningkat (atau menurun)
sebagai akibat peningkatan (atau penurunan) variabel pasangannya, maka dua
variabel tersebut dinamakan covary. Namun jika satu variabel tidak berubah
dengan meningkatnya (atau penurunan) variabel lain, maka variabel tersebut
tidak covary. Statistik untuk mengukur berapa banyak kedua variabel covary
dalam sampel pengamatan adalah kovarian.
Selain mengukur besarnya kekuatan hubungan di antara dua variabel, kovarian juga
menentukan arah
hubungan dari kedua variabel tersebut.
- Apabila nilainya positif, berati bahwa apabila nilai x berada di atas nilai rata-ratanya, maka nilai y juga berada di atas nilai rata-rata y, dan sebaliknya (Searah).
- Nilai kovarian negatif menunjukkan bahwa apabila nilai x berada di atas nilai rata-ratanya sedangkan nilai y berada di bawah nilai rata-ratanya (berlawanan arah).
- Terakhir, apabila nilai kovarian mendekati nol, menandakan bahwa kedua variabel tersebut tidak saling berhubungan.
Standarisasi
Salah satu keterbatasan kovarian sebagai ukuran kekuatan hubungan linier
adalah arah/besarnya gradien yang tergantung pada satuan dari kedua variabel
tersebut. Misalnya, kovarian antara serapan N (%) dan Hasil Padi (ton) akan
jauh lebih besar apabila satuan % (1/100) kita konversi ke ppm (1/sejuta). Agar
nilai kovarian tidak tergantung kepada unit dari masing-masing variabel, maka
kita harus membakukannya terlebih dahulu yaitu dengan cara membagi nilai
kovarians tersebut dengan nilai standar deviasi dari kedua variabel tersebut
sehingga nilainya akan terletak antara -1 dan +1. Ukuran statistik tersebut
dikenal dengan Pearson product moment correlation yang
mengukur kekuatan hubungan linier (garis lurus) dari kedua variabel tersebut.
Koefisien korelasi linear kadang-kadang disebut sebagai koefisien korelasi
pearson untuk menghormati Karl Pearson (1857-1936), yang pertama kali
mengembangkan ukuran statistik ini.
Kovarian:
Standar
Deviasi variabel X dan Y:
Korelasi:
Nilai kovarian distandarkan dengan membagi nilai kovarian tersebut dengan
nilai standar deviasi kedua variabel.
atau
atau
Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua
veriabel. Harus diingat bahwa nilai koefisien korelasi yang kecil (tidak signifikan) bukan berarti
kedua variabel tersebut tidak saling berhubungan. Mungkin saja dua variabel
mempunyai keeratan hubungan yang kuat namun nilai koefisien korelasinya
mendekati nol, misalnya
pada kasus hubungan non linier. Dengan demikian, koefisien korelasi hanya
mengukur kekuatan hubungan linier dan tidak pada hubungan non linier.
Harus diingat
pula bahwa adanya hubungan linier yang kuat di antara variabel tidak selalu
berarti ada hubungan kausalitas, sebab-akibat. Kedua pasang
variabel, x dan y bisa saja nilai koefisien korelasinya tinggi sebagai akibat
adanya faktor z. Sebagai contoh, suhu (x) dengan tekanan udara (y) mungkin saja
nilai koefisien korelasinya tinggi, namun belum tentu keduanya menunjukkan
adanya hubungan sebab akibat (misal, semakin rendah suhu udara maka tekanan
udara akan semakin rendah). Adanya korelasi suhu dan tekanan udara tersebut
bisa saja semata-mata sebagai akibat dari perubahan ketinggian (z) suatu
tempat, semakin tinggi tempat maka baik suhu ataupun tekanan udara akan semakin
menurun. (meskipun secara teoritis memang terdapat hubungan sebanding antara
suhu dan tekanan: PV = nRT). Dengan demikian, Korelasi hanya menjelaskan kekuatan
hubungan tanpa memperhatikan hubungan kausalitas, mana yang dipengaruhi dan
mana yang mempengaruhi. Kedua variabel masing-masing bisa berperan sebagai
Variabel X maupun Variabel Y.
Karakteristik korelasi
- Nilai r selalu terletak antara -1 dan +1
- Nilai r tidak berubah apabila seluruh data baik pada variabel x, variabel y, atau keduanya dikalikan dengan suatu nilai konstanta (c) tertetu (asalkan c ≠ 0).
- Nilai r tidak berubah apabila seluruh data baik pada variabel x, variabel y, atau keduanya ditambahkan dengan suatu nilai konstanta (c) tertetu.
- Nilai r tidak akan dipengaruhi oleh penentuan mana variabel x dan mana variabel y. Kedua variabel bisa saling dipertukarkan.
- Nilai r hanya untuk mengukur kekuatan hubungan linier, dan tidak dirancang untuk mengukur hubungan non linier
Asumsi
Asumsi untuk analisis korelasi:
- Sampel data berpasangan (x, y) berasal dari sampel acak dan merupakan data kuantitatif.
- Pasangan data (x, y) harus berdistribusi normal.
Harus diingat bahwa analisis korelasi sangat sensitif terhadap data pencilan
(outliers)!
Asumsi bisa dicek secara visual dengan menggunakan:
- Boxplots, histograms & univariate scatterplots untuk masing-masing variabel
- Bivariate scatterplots
Apabila tidak memenuhi asumsi misalnya data tidak berdistribusi normal (atau
ada nilai data pencilan), kita bisa menggunakan korelasi Spearman (Spearman rank correlation),
korelasi untuk analisis non-parametrik.
Koefisien Determinasi
Koefisien korelasi, r, hanya menyediakan ukuran kekuatan dan arah hubungan
linier antara dua variabel. Akan tetapi tidak memberikan informasi mengenai
berapa proporsi keragaman (variasi) variabel dependen (Y) yang dapat
diterangkan atau diakibatkan oleh hubungan linier dengan nilai variabel
independen (X). Nilai r tidak bisa dibandingkan secara langsung, misalnya kita
tidak bisa mengatakan bahwa nilai r = 0.8 merupakan dua kali lipat dari nilai r
=0.4.
Untungnya, nilai kuadrat dari r bisa mengukur secara tepat rasio/proposi
tersebut, dan nilai statistik ini dinamakan dengan Koefisien Determinasi, r2.
Dengan demikian, Koefisien Determinasi bisa didefinisikan sebagai nilai yang
menyatakan proporsi keragaman Y yang dapat diterangkan/dijelaskan oleh hubungan
linier antara variabel X dan Y.
Misalnya, apabila nilai korelasi (r) antara Serapan N dengan hasil = 0.8,
maka r2 = 0.8 x 0.8 = 0.64=64%. Hal ini berarti bahwa 64% keragaman
Hasil padi bisa diterangkan/dijelaskan oleh tinggi rendahnya Serapan N.
Sisanya, sebesar 36% mungkin disebabkan oleh faktor lain dan atau error (galat)
dari percobaan.
Pengujian Koefisien Korelasi
Terdapat dua metode yang biasa digunakan untuk menguji kebermaknaan
koefisien korelasi. Metode pertama dengan menggunakan Uji-t dan Metode kedua
dengan menggunakan tabel r.
Bagan Alir untuk pengujian hipotesis:
Catatan:
Nilai tabel kritis r bisa di lihat pada tabel di bawah ini. Nilai kritis r
selengkapnya bisa di download pada tautan berikut:
Faktor yang akan mempengaruhi nilai uji korelasi:
Ukuran koefisien korelasi dan ukuran/banyaknya sampel.
Contoh Terapan
Berikut adalah data usia, berat, dan tekanan darah.
Individual
|
Age
|
Weight
|
Systolic Pressure
|
A
|
34
|
45
|
108
|
B
|
43
|
44
|
129
|
C
|
49
|
56
|
126
|
D
|
58
|
57
|
149
|
E
|
64
|
65
|
168
|
F
|
73
|
63
|
161
|
G
|
78
|
55
|
174
|
Untuk kasus ini, kita ingin melihat apakah terdapat hubungan linier antara
usia dengan tekanan darah sistolik? Taraf nyata yang digunakan adalah 5%.
Hipotesis:
H0: ρ = 0 vs H1: ρ ≠ 0
Eksplorasi Data
Berdasarkan diagram pencar (scatterplot), tampak bahwa sebaran titik-titik
mengikuti pola linier dengan kemiringan positif, yang berarti terdapat hubungan
yang sejalan antara usia dengan tekanan darah sistolik. Dengan demikian, kita
bisa menggunakan koefisien korelasi untuk menentukan apakah hubungan linier
kedua variabel tersebut bermakna atau tidak. Apabila pola hubungannya tidak
linier, kita tidak tepat menggunakan koefisien korelasi karena nilai r hanya
untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier antara kedua varibel
kuantitatif.
Asumsi:
Kedua data berasal dari data kuantitatif. Selanjutnya apakah sebaran kedua
variabel berdistribusi normal?
Uji Formal:
H0: data berdistribusi normal
H1: data tidak berdistribusi normal
Interpretasi:
·
Apabila nilai sig (p-value) ≤ 0.05, maka Tolak
H0 yang berarti data tidak berdistribusi normal
·
Apabila nilai sig (p-value) > 0.05, maka
Terima H0 yang berarti data berdistribusi normal
Pada kasus di atas, nilai p-value untuk kedua variabel > 0.05, sehingga
kita bisa menyimpulkan bahwa data berdistribusi normal.
Tampak bahwa uji normalitas untuk kedua variabel tersebut memenuhi
persyaratan, sebarannya mengikuti distribusi normal, baik dengan menggunakan
Uji Kolmogorov-Smirnov ataupun Shapiro-Wilk.
Grafis:
Secara grafis juga tampak bahwa kedua variabel tersebut berdistribusi
normal. Penggunaan box plot untuk melihat apakah sebaran data berdistribusi
normal ataukah tidak, diuraikan pada topik:
Perhitungan nilai koefisien korelasi (r) :
No
|
Age (X)
|
Systolic Pressure (Y)
|
X2
|
Y2
|
XY
|
1
|
34
|
108
|
1156
|
11664
|
3672
|
2
|
43
|
129
|
1849
|
16641
|
5547
|
3
|
49
|
126
|
2401
|
15876
|
6174
|
4
|
58
|
149
|
3364
|
22201
|
8642
|
5
|
64
|
168
|
4096
|
28224
|
10752
|
6
|
73
|
161
|
5329
|
25921
|
11753
|
7
|
78
|
174
|
6084
|
30276
|
13572
|
Jumlah
|
399
|
1015
|
24279
|
150803
|
60112
|
Rata-rata
|
57
|
154
|
Pengujian Hipotesis
Metode 1:
Tentukan nilai t-tabel dengan taraf nyata (α)= 5% dan db = n-2.
Dari tabel distribusi t, kita peroleh: t(0.05/2, 5)= 2.57
Bandingkan t-hitung dengan t-tabel:
Dari hasil perhitungan, kita peroleh nilai t-hitung = 7.30 dan t-tabel =
2.57. Jelas bahwa nilai |t-hitung| > t-tabel sehingga Tolak H0 dan Terima
H1. Dengan demikian, kita bisa menyatakan bahwa terdapat hubungan linier antara
usia dengan tekanan darah sistolik.
Metode 2:
Bandingkan nilai |r| dengan nilai tabel kritis r untuk n = 7. Nilai r pada
tabel kritis = 0.754.
Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai r = 0.956. Jelas bahwa |r|> 0.754
sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa terdapat hubungan linier antara usia
dengan tekanan darah sistolik.
Output Analisis dengan menggunakan SPSS
Kita bisa
menyatakan seperti ini:
Korelasi antara usia dengan tekanan darah sistolik: r(7) = 0.956; p <
0.01
Koefisien Determinasi
Nilai koefisien determinasi diatas menyatakan proporsi keragaman Tekanan darah sistolik yang dapat diterangkan/dijelaskan oleh hubungan linier antara variabel usia dan tekanan darah sistolik. Berdasarkan hasil analisis, kita yakin 95% bahwa sekitar 91% variasi tinggi rendahnya tekanan darah sistolik ditentukan oleh usia seseorang. Dalam studi hubungan, dua variabel dikatakan berkorelasi jika perubahan dalam satu variabel disertai dengan perubahan yang lain - baik dalam arah yang sama atau sebaliknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar